Ada diam di kedua matamu
Seperti lelah yang berpendar
Menyinari setiap peluhmu
Aku mendengar, setiap keluh yang terpanjat
Dari lipatan kedua bibirmu
Bedukalah, sebab pada apa lagi harus menangis
Di laut ini:
Hujan tak lagi jatuh seperti halnya
Ia hanya dijatuhkan pada mata-mata yang sayu
Yang padanya tertancap bilah-bilah kayu
Diisyaratkan bagimu sembilu
Dan pada punggungmu
Waktu menjelma sebuah perahu
Melintasi bahu-bahu yang tertimpa udara
Lalu ditempa pada deretan bongkah batu
Kau menjerit, dalam sebuah lingkaran
Ia menyuruhmu duduk di tepian
Menerka setiap yang jatuh menjelma tiada
Tiga belas ikan kecil melompat ke perahumu
Di bahu, juga pada tetesan peluhmu
“Bukankah ini rejeki” katamu
Sambil menguras perahu yang dipenuhi air asin
Di sebuah arus yang membentuk lingkaran
Engkau makin terseret ke dalam
Tak peduli ia membawamu pada bongkah batu tadi
Kedua matamu sibuk memunguti ikan-ikan yang jatuh
Ialah setiap hidup
Nyatanya apa yang kaudapat hanya mengurangi usiamu
Seperti kolam yang tak pernah dihujani
Kau makin gamang
Memandangi air yang semakin penuh
Pada bahu kanan dan kirimu
Seorang sunyi mencatat tiap hujat yang kauumpat
Meringkasnya menjadi lembar-lembar maut
Yang menunggumu di ujung laut
Engkau seorang kelasi
Pada sebuah perahu di bahumu sendiri
Lampung – 23 may 2014