Celoteh kampung halaman

Ingatkah kawan, saat masih belia.
Kita berlarian mengejar senja di ladang paman.
Lalu kau jatuh terlentang.
Aku tertawa kegirangan.
Air mata menderas oleh luka, aku tertawa bahagia.

Sedang mereka para petua heran.
Kita bagai kucing dan macan.

Lalu apa kita telah lupa, nyanyian pinggir jalan.
Saat kita setinggi pohon jagung.
Kau lantang berseru menang.
Kita melawan kesepian.

Siang saat pemimpi belajar.
Malam itu nyata di hadapan.
Orang bilang. Kitalah hansip tak di bayar.
Namun juga maling kampungan.

Penumpang gelap diselasar malam.
Mentari terbit kala gelap.
Kidung pedesaan di tepian jalan.

Apa kita telah lupa.
Saat kupu-kupu mengalir diantara senar gitar.
Akulah pendenting. Sedang kau pendendang.

Kita, lewati malam setapak dengan barisan memanjang.

Kau, dia, aku dan mereka, ujung pena sang tuhan.
Menggores kisah pedalaman.

Melukis malam dengan teriakan.
Basah kuyup orang tak senang.
Kita masih tertawa oleh luka lebam, di hantam waktu yang kencang.
Kita, tak ada habisnya diulas.
Kita sampai kesekian.

By Angin Pendiam

1 comments on “Celoteh kampung halaman

Tinggalkan komentar