Waktu Semakin Tipis

untuk : Fee

Waktu semakin tipis
Langit memisah antara rindu dan perjalanan kata-kata
Malam memilih gelap tanpa kehadiran pendar bulan di sisi sunyi
Sepi dengan keangkuhannya meninggalkan bangku taman tanpa kunang-kunang atau bunga layu
Aku duduk di antara jejak pulang dan pergi yang jauh

Tadi, sebelum malam menelan sisa mentari
Kulihat cinta dalam lukisanmu; juga melihat jarak di sana
Apakah takdir mengira ialah batas paling nyata
Antara aku dan dirimu?

Siapa yang menciptakan cinta? Apa Ia pula yang menciptakan jarak di antaranya?

Dalam batas Aku menerka, sesulit apa mencintai dalam jarak
Aku tak ingat kali pertama kehadiran mereka
Di bulan desember hanya kuingat hujan dan rumput yang basah

Malam, rindu dan waktu
Gelap, sunyi dan jarak
Kutelusuri kembali jejak pulang dan pergi yang jauh
Angan yang menyentuh pipimu menjelma angin paling lembut dan rapuh

Waktu semakin tipis, dan segalaku padamu tak beranjak dari duduk dan menunggu
Akan tetap seperti ini, meski waktu telah habis

Jember, 08 Januari 2016

By Angin Pendiam

Gelisah (flashfiction)

Pukul 11.34 aku berbaring di atas ranjang. Lampu padam dan di luar hujan deras sangat berisik. Kurasakan gelisah ketika pintu lupa kututup, terasa angin yang halus masuk lewat sela-sela selimut yang tebal di atas tubuhku. Telingaku berdengung seperti ada yang berbisik di antara bising hujan. Ketika itu perasaanku makin gelisah, aku takut. Tidak berani menutup mata lama-lama, dalam hatiku seseorang sedang memandangi dari sudut kamar.

Malam terasa sangat panjang, mataku terasa berat. Hujan itu makin deras, sejam, dua jam, tiga jam. Aku masih terjaga dengan rasa kantuk. Dengan perasaan takut yang menyelimut bulu kuduk; hawa dingin namun keningku berkeringat. Seperti ada yang mendekat, berbisik kemudian tiada. Esok harinya aku terbangun, bangkit dari ranjang lalu berjalan ke kamar mandi. Aku lupa apa yang terjadi.

Jember, 01-11-15

By Angin Pendiam

Penemuan (FlashFiction)

Akhirnya semua orang mampu mendaki gunung Everest, berkat penemuan sebuah alat. Semua manusia bisa mendaki gunung hanya dengan meringkuk di atas sofa.

By Angin Pendiam

Insomnia ~ Flashfiction

Bekerja terlalu larut membuat Adi begitu tersiksa. Matanya mulai terlihat kehitaman. Sudah seminggu ia tidak tidur. Ia merasa pekerjaan ini terlalu berat baginya. Sesekali ia mencoba memejamkan mata. Tak lama ia memejam, suara jeritan manusia terdengar keras di telinganya, seperti sebuah bencana. Adi mulai merinding. Ia mencoba untuk tidak tertidur. Ia mencoba untuk terus terjaga. Memerhatikan sesuatu.
Terkadang ia merasa tak sanggup dengan tugas barunya itu, ia mulai menyadari betapa berat menjadi seperti-Nya.

Jember, 21 Mei 2015

By Angin Pendiam

Jatuh Cinta ~ FlashFiction

Budi yang usianya lebih tua Tujuh tahun dari Mira benar-benar yakin bahwa Mira-lah jodoh yang selama ini ia cari. Budi yang berusia 23 tahun dan Mira berusia 16 tahun.
Ia bertemu Mira tak begitu lama, baru semenit setelah berkenalan di halte bis ia sudah jatuh cinta.
Rencananya malam ini ia akan segera melamar Mira. Keputusan Budi begitu bulat, dan ia benar-benar yakin malam ini.
Setelah Budi mengantar Mira ke rumahnya, dengan membawa bunga dan jajanan seadanya. Ia berbicara kepada Ayah Mira. Ia ingin segera menikahi Mira. Namun Ayahnya tak menerima, ia beranggapan bahwa Mira terlalu muda untuk dinikahi. Pernyataan itu membuat Budi sangat kecewa. Ia tak dapat berbicara apa-apa lagi. Jantungnya berdetak begitu cepat. Seketika pandangan Budi kabur, seperti gelap tiba-tiba. Kemudian ia tersentak, mendapati dirinya dengan selimut dan wanita tua di sampingnya sedang tertidur pulas.

Jember, 20 Mei 2015

By Angin Pendiam

Amarah ~ FlashFiction

Suasana hening setelah Ayah bertengkar dengan Ibu. Aku duduk terdiam di kamar mendengar kesunyiannya begitu lebat. Lima menit setelah kejadian, Ayah pergi ke kamar mandi. Suara percikan air berulangkali terdengar. Cukup lama Ayah berdiam di sana, mungkin ia sedang meredakan amarahnya. Setelah itu Ayah keluar dengan wajah puas. Lalu menutup rapat pintunya.

Dua jam lamanya. Tidak ada yang berbicara di ruangan ini selama itu. Kudengar lirih-lirih suara di arah kamar mandi. Kudekati perlahan, kubuka pintu yang tertutup rapat itu. Kulihat seseorang, yang tak kukenal; terikat tubuhnya di dalam bak, tanduk dan ekornya patah.

Jember, 19 Mei 2015

By Angin Pendiam

Untuk Kirana bag. 2

Di pagi yang cemara bergegas menangkap mentari
Terlintas sebutir ingatan senyummu menari
Erat genggam ia tak lepas
Inginku berlama-lama hanyut tak lekas
Senyum itu menyala terang
Seperti sebuah siang; aku dapat melihatmu utuh tak terhalang
Di rindang pohon jalan menanti diriku datang.

Jember, 15 Mei 2015

By Angin Pendiam

Insomnia

Sekadar tulisan curhat :))

Adakah aku bisa membunuh insomnia ini, segala yang membuatku terdiam sendiri, waktu di saat detak jam terasa sepi-sunyi, lalu aku tak lagi mengingat-ingat luka dari kerasnya hidup ini, dari apa-apa yang pernah membuat aku menyimpan memori sakit yang teramat perih.

Aku mendengar lagu di saat sendiri, aku mengira cukup untuk mengganti teman sepi, namun aku tetap tak mengerti, padahal seseorang pernah berkata setiap lagu menyimpan memori.

Aku masih mendengarnya, lagu yang membuatku mengingat perih.

Ini bukan perihal cinta atau apalah yang biasa-anak-muda-rasakan, ini tentang jalan hidup yang keras, aku pernah menulisnya: bersikap dewasapun tak membuat hati yang masih muda ini kuat dari kerasnya hidup.

Aku merasakan hal-hal yang kebanyakan-orang-dewasa-rasakan, dan itu membuatku sakit, meski seakan badai yang berlalu, namun perih pernah kurasakan; dan aku ingat.

Di akhir dari perkataan perkataan bodohku ini; semoga ada kebahagiaan lain yang membuatku lupa akan segala perih dahulu, hingga aku bisa membunuh sepi dalam pikiranku ini.

By Angin Pendiam

untuk Kirana bag. 1

Surat pertama:

Selalu, dan selalu kutulis dalam puisiku. Musim sepertiga malam, yang padanya doaku menjulang di atas Arsy-Nya

Doa yang kuiringi dengan hati terbuka, semoga dengan kamu membacanya, hatimu akan merasa bahagia.

By Angin Pendiam

Rapuh Usia

Menyulam sisi rapuh di sisa usiaku

dengan pintalan doa

sebagai benang yg regas terbata-bata

Menutup celah agar jiwaku tak segera melepas.

jemariku berdarah-darah menahan tusukan

jarum yang ku hujamkan sendiri,

mengibaku

meminta detik untuk denyutkan nadiku

lebih lama.

~ Kirana Kyashana

Ciamis, 08 – 01 – 15

By Angin Pendiam